PENDAHULUAN
Pergeseran paradigma administrasi publik menurut Denhart
dan Denhar (2003) dalam bukunya “The New Public Service: Serving, not Steering” dari Old
Public Administration (OPA) ke New Public Management (NPM) dan New
Public Service (NPS) menimbulkan fenomena baru dalam penyelenggaraan peran administrasi publik
khususnya dalam keterlibatan dalam proses kebijakan publik.
Paradigma The Old
Public Administration yang pemerintahannya bersifat sentralistik dan membatasi peran warga
negaranya diganti dengan pemerintahan yang berjiwa usaha atau yang lebih
dikenal dengan paradigma New Public
Management (NPM). Kemudian berlanjut kepada paradigma New Public Service
yang memandang posisi warga negara sangat penting bagi kepemerintahan
demokratis. Warga negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of
government) dan mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang
lebih baik. Kepentingan publik tidak lagi dipandang sebagai agregasi
kepentingan pribadi melainkan sebagai hasil dialog dan keterlibatan publik
dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama.
Jaringan ketiga aktor dalam proses kebijakan khusus dalam formulasi kebijakan publik merupakan
hal yang penting. Hal ini dimaksudkan
agar kebijakan yang dirumuskan memenuhi harapan masyarakat dan tidak bersifat
“elit”. Sebab kebijakan publik yang elistis sama sekali tidak memiliki dampak
positif terhadap masyarakat justru sebaliknya hanya menguntungkan sebagian
kelompok untuk memperoleh kekuasaan atau hanya untuk mempertahankan kekuasaan.
Jaringan (Networks)
Dalam
ilmu sosial, istilah networks pertama
kali dipakai pada tahun 1940-an dan 1950-an untuk menganalisis dan memetahkan
hubungan, kesalingterkaitan dan dependensi personal. Dalam kasus pembuatan
kebijakan, konsep networks memberikan
perhatian pada bagaimana kebijakan muncul dari kesalinghubungan (interplay) antara orang dan organisasi
dan memberikan gambaran yang lebih
informal tentang bagaimana kebijakan
“riil” dilaksanakan. (Parson, 2011:187).
Kata
networks mengandung dua arti yaitu
pertama, berarti menjalin kontak untuk mendapat keuntungan dan arti kedua
berasal dari bahasa teknologi komputer
yakni komputer yang saling berhubungan. (Parson, 2011:186-187).
Selanjutn Klijn (1999:30) menjelaskan networks dapat diartikan dari beberapa sudut pandang.
Klijn mengemukakan networks sebagai
kluster organisasi yang berhubungan satu
sama lainnya, yaitu sekumpulan organisasi atau seperangkat hubungan organisasi.
Aldrich dan Watten lebih melihat netwoks sebagai
suatu sistem, yaitu totalitas keseluruhan unit yang saling terhubung dengan
relasi tertentu yang pasti.
Jadi
jaringan (network) menurut Dubini dan
Aldrich (1991) dalam Faidal (2007) digunakan untuk menunjukkan pola hubungan
antar individu antar kelompok dan antar organisasi. Jaringan dapat berbentuk formal atau informal
para area lokal atau interlokal maupun ikatan bisnis ataupun intersektor.
Konsep
Kebijakan Publik
Sekitar tahun 1970-an mulai
berkembang konsep public policy dalam
ilmu administrasi publik. Dimana pokok perhatian utama administrasi publik saat
itu ialah public policy. Munculnya public
policy dalam administrasi publik
dikarenakan banyaknya teknisi-teknisi administrasi menduduki jabatan politik
dan sebagian lainnya karena bertambahnya tuntutan-tuntutan masyarakat untuk
mendapatkan kebijakan yang lebih baik. (Thoha, 2008:101-102).
Thomas R. Dye yang dikutip Young dan Quinn (2005:5)
memberikan definisi kebijakan publik yang relatif lebih spesifik sebagai “a
purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter
of concern” Menurut Anderson kebijakan publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh
badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah. (Nurcolis, 2005:159). Sedangkan menurut Anderson yang dikutip Hanif
Nurcholis (2005:158) kebijakan publik
adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat pemerintah.
Selanjutnya Bridgeman dan Davis (2004) dalam Suharto
(2008:5-8)
menerangkan
bahwa kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang saling bertautan,
yakni sebagai tujuan (objective),
sebagai pilihan tindakan yang legal dan sah secara hukum (authoritative choice) dan sebagai hipotesis (hypothesisi). Kebijakan
publik sebagai tujuan, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah
yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik
sebagai konstituen pemerintah. Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang
legal dan sah karena kebijakan publik dibuat oleh lembaga yang memiliki
legitimasi dalam sistem pemerintahan. Kemudian kebijakan publik sebagai
hipotesis, kebijakan dibuat berdasarkan
teori, model atau hipotesis mengenai
sebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku.
Untuk keperluan
praktis, Mustopodidjaja dalam Rakhmat (2009:132) menawarkan suatu working definition yang diharapkan dapat mempermudah pengamatan
atas fenomena kebijakan yang aktual. Dikatakan bahwa kebijakan publik adalah
suatu keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu untuk
mencapai tujuan tertentu, yang dilaksanakan oleh instansi yang berkewenangan
dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan negara dan pembangunan. Dalam
kehidupan administrasi publik, secara formal keputusan tersebut dituangkan
dalam berbagai bentuk perundang-undangan.
Formulasi Kebijakan Publik
Woll dalam Tangkilisan
(2003:8) mendefinisikan formulasi kebijakan berarti berarti
pengembangan sebuah mekanisme untuk menyelesaikan masalah publik, dimana pada
tahap para analis kebijakan publik mulai menerapkan beberapa teknik untuk
menjustifikasikan bahwa sebuah pilihan kebijakan merupakan pilihan yang terbaik
dari kebijakan yang lain.
Selanjutnya
Islamy (2007:77-118) memaparkan tahap-tahap perumusan kebijakan publik, sebagai
berikut:
Tahap I, Perumusan
masalah kebijakan publik. Tahap ini
adalah tahap dimana masalah-masalah diangkat dan kemudian para pembuat
kebijakan mencari dan menentukan identitas masalah kebijakan itu dan kemudian
merumuskannya.
Tahap II, Penyusunan
agenda pemerintah. Dari sekian banyak masalah-masalah umum, hanya sedikit yang
memperoleh perhatian dari pembuat kebijakan. Pilihan pembuat kebijakan terhadap sejumlah kecil masalah-masalah umum
menyebabkan timbulnya agenda kebijakan.
Tahap III.
Perumusan usulan kebijakan publik; adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan
serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah.
Tahap IV.
Pengesahan Kebijakan Publik; adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara
bersama terhadap prinsip-prinsip yang
diakui dan ukuran-ukuran yang diterima.
Tahap V.
Pelaksanaan kebijakan Publik; usulan kebijakan yang telah diterima dan disahkan
oleh pihak yang berwenang maka keputusan kebijakan itu siap diimplementasikan.
Tahap VI,
Penilaian Kebijakan Publik; adalah merupakan langkah terakhir dari suatu proses
kebijakan. Penilaian kebijakan publik dilakukan untuk mengetahui dampak
kebijakan publik.
Model-Model
Formulasi Kebijakan Publik
Model didefinisikan
sebagai bentuk abstraksi dari suatu kenyataan. Silallahi (1989:35)
mendefinisikan model adalah sarana untuk menggambarkan situasi atau serangkaian
kondisi sedemikian rupa sehingga perilaku yang terjadi didalamnya dapat
dijelaskan. Menurut Thoha (2008:124) model yang digunakan dalam kebijakan
publik termasuk golongan model konseptual. Kegunaan model menurut Thoha adalah:
a. menyederhanakan
dan menjelaskan pemikiran-pemikiran tentang politik dan public policy
b. mengidentifikasikan
aspek-aspek yang penting dari persoalan-persoalan policy
c. menolong,
seseorang untuk berkomunikasi dengan orang-orang lain dengan memusatkan pada
aspek-aspek (features) yang esensial
dalam kehidupan politik.
d. mengarahkan
usaha-usaha kea rah pemahaman yang lebih baik mengenai public policy dengan menyarankan hal-hal manakah yang dianggap
penting dan yang tidak penting.
e. Menyarankan
penjelasan-penjelasan untuk public policy
dan meramalkan akibat-akibatnya.
Menurut
Nicholas Henry (1975) dalam Islamy (2007:36) mengelompokkan dua tipologi dalam
analisis model kebijakan, yaitu (1)
kebijakan publik dianalisa dari sudut proses; (2) kebijakan publik dianalisa
dianalisa dari sudut hasil dan akibat (efek)nya. Tipologi yang termasuk ke
dalam kelompok penganalisasian dari sudut proses adalah :
1.
Model
Institusional
Model
ini merupakan model yang tradisional dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Fokus atau pusat perhatian model ini terletak pada struktur organisasi
pemerintah karena kegiatan-kegiatan politik berpusat pada lembaga-lembaga
pemerintah. Maka kebijakan publik secara otoritatif dirumuskan dan dilaksanakan
pada lembaga-lembaga pemerintah.
2.
Model
elit—massa
Menurut Nicholas Henry (1975) dalam Setyodarmodjo
(2005:251) model ini memandang administrator-adminitrator pemerintahan
tidaklah tampil sebagai “pelayan rakyat” melainkan lebih bertindak sebagai
“penguasa”.
Dalam
model elit-massa ini, kekuasaan pemerintah berada ditangan kaum elit. Kaum
elitlah yang menentukan kebijakan publik, sedang pejabat pemerintah atau para
administrator hanya melaksanakan kebijakan yang ditentukan oleh kaum elit.
Dengan demikian masyatakat hanya tinggal menerima apa saja yang dikehendaki
pejabat.
3.
Model
Kelompok
Model ini menganut paham
David B. Truman (1951) dalam Islamy
(2007:42) yang menyatakan bahwa
interkasi kelompok-kelompok adalah merupakan kenyataan politik.
Individu-individu yang memiliki kepentingan yang sama mengikatkan baik secara
formal maupun informal kedalam kelompok kepentingan (interest group) yang dapat mengajukan dan memaksakan
kepentingan-kepentingannya kepada pemerintah.
Menurut teori kelompok,
kebijakan publik adalah merupakan perimbangan (equilibrium) yang dicapai
sebagai hasi perjuangan kelompok. Untuk menjaga perimbangan tersebut maka
tugas/peranan sistem politik adalah
menengahi konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok tersebut.
4.
Model
Sistem—Politik
Model ini sebenarnya merupakan pengembangan
dari teori sistem David Easton. Model ini didasarkan pada konsep-konsep teori
informasi (input, withinputs, outputs dan
feedback) dan memandang kebijakan publik sebagai respon suatu sistem
politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (sosial, politik, ekonomi,
kebudayaan, geografis dan sebagainya) yang ada disekitarnya,
Selanjutnya model kebijakan publik dari
sudut hasil atau efek menurut Nocholas
Henry (1975) yaitu :
5.
Model
Rational—Comprehensive
Model ini didasarkan atas
teori ekonomi atau konsep manusia ekonomi (consept
of an economic man). Dalam model ini konsep rasionalitas sama dengan konsep
efisiensi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa suatu kebijakan yang rasional
itu adalah suatu kebijakan yang sangat efisien—dimana rasio antara nilai yang
dicapai dan nilai yang dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan
alternative-alternatif yang lain.
6.
Model
Inkremental
Model inkremental
pada dasarnya merupakan kritik terhadap model rasional. Dikatakannya, pada
pembuat kebijakan tidak pernah melakukan proses seperti yang diisyaratakan oleh
pendekatan rasional karena mereka tidak memiliki cukup waktu, intelektual
maupun biaya, ada kekhawatiran muncul dampak yang tidak diinginkan akibat
kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya, adanya hasil-hasil dari
kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan dan menghindari konflik. (Wibawa,
1994:11).
7.
Model
Mixed—Scanning
Model ini merupakan upaya
mengambungkan antara model rasional dengan model incremental. Amitai Etzioni
(1967) memperkenalkan teori sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi
keputusan-keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses-proses formulasi
kebijakan pokok dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar,
proses-proses yang mempersiapkan keputusan-keputusan pokok dan menjalankannya
seteleh keputusan itu tercapai. Pada
dasarnya model ini adalah model yang amat menyederhanakan masalah. (Nugroho,
2004:124).
Aktor dalam Formulasi
Kebijakan Publik
Menurut Howlett dan Ramesh
(1995:50-59) beberapa aktor atau organisasi yang berpengaruh dalam proses
pembuatan kebijakan, antara lain: (a) eksekutif dan legislatif yang dihasilkan
melalui pemilihan umum (elected officials);
(b) pejabat atau birokrat yang diangkat (appointed
officials); (c) kelompok kepentingan (interest
group); (d) organisasi peneliti; dan (e) media massa. Selain lima hal
tersebut, aspek lain yang berpengaruh dalam kebijakan publik antara lain: (a)
bentuk organisasi negara; (b) struktur birokrasi; (c) organisasi
kemasyarakatan; (d) kelompok bisnis.
Sesuai pendapat Lester dan Steward (2000) dalam Kusumanegara
(2010:88-89), para aktor perumus
kebijakan terdiri dari: (a) agen pemerintah; yaitu terdiri dari para birokrat
karier. Mereka adalah aktor yang mengembangkan sebagian besar usulan kebijakan
(inisiator kebijakan); (b) kantor kepresiden; yaitu presiden atau aparat
eksekutif. Keterlibatan presiden dan perumusan kebijakan ditunjukan dengan
pembentukan komisi kepresidenan, task
forces dan komite antar organisasi; (c) Konggres (lembaga legislatif); lembaga ini berperan dalam melegislasi
kebijakan baru maupun merevisi kebijakan yang dianggap keliru. Dinegara-negara
demokrasi, peran legislatif dalam perumusan kebijakan didasarkan pada
keberadaan mekanisme check and balances
dengan pihak eksekutif; (d) Kelompok kepentingan; dinegara demokrasi, kelompok
kepentingan merupakan aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan spesifik.
Sementara Winarno (2007:123) bahwa kelompok-kelompok yang terlibat dalam
proses perumusan kebijakan publik dibagi kedalam dua kelompok, yakni para
pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Kelompok pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah
(birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif. Sedangkan kelompok
pemeran serta tidak resmi meliputi: kelompok-kelompok kepentingan, partai
politik dan warganegara individu.
Sedangkan Moore (1995:112) secara umum aktor yang terlibat dalam permusan kebijakan
publik yaitu, aktor publik, aktor privat dan aktor masyarakat (civil society).
Ketiga aktor ini sangat berperan dalam sebuah proses penyusunan kebijakan
publik dan hubungan ketiga aktor tersebut
digambarkan di bahwa ini:
Aktor Publik
|
Civil
Society
|
Aktor Privat
|
Gambar : Hubungan
Aktor-Aktor dalam Formulasi Kebijakan Publik diadabtasi dari Moore (1995:112)
|
Selanjutnyanya Lidblom
(1980) dalam Agustino (2008:41) aktor pembuat kebijakan, dalam sistem
pemerintahan demokratis, merupakan interaksi antara dua aktor besar, yaitu Insede Government Actors (IGA) dan Outside Government Actors (OGA). Para aktor pembuat kebijakan ini terlibat sejak
kebijakan publik itu masih berupa issu dalam agenda setting hingga proses
pengambilan keputusan berlangsung. Yang termasuk dalam kategori Insede
Government Actors (IGA) adalah presiden, lembaga eksekutif (staf khusus
pemerintahan), para menteri dan aparatur birokrasi. Sedangkan yang termasuk
dalam kategori Outside Government Actors (OGA) diantaranya, lembaga
legislatif, lembaga yudikatif, militer, partai politik, kelompok kepentingan
dan kelompok penekan serta media—massa.
Jaringan
Aktor Dalam Formulasi Kebijakan Publik: Pendekatan Baru Dalam Penyusunan
Kebijakan
Hal yang penting dalam
proses kebijakan publik adalah formulasi (perumusan) kebijakan (policy formulation). Begitu pentingnya tahap formulasi kebijakan
maka tahap ini dianggap sebagai tahap fundamental dalam siklus kebijakan
publik. Mengapa? Karena formulasi kebijakan publik
adalah inti dari kebijakan publik.
Formulasi kebijakan bukan pekerjaan yang main-main tapi sebaliknya sebuah tugas
berat karena membutuhkan mengkajian dan keseriusan dari aktor-aktor yang
terlibat dalam formulasi kebijakan. Kekeliruan atau kesalahan dalam formulasi
kebijakan akan berdampak pada proses implementasi, sehingga apa yang menjadi
tujuan kebijakan dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat justru
hanya bersifat politis.
Widodo (2007:43)
mengatakan manakala proses formulasi
kebijakan tidak dilakukan secara tepat dan komprehensif, hasil kebijakan yang
diformulasikan tidak akan bisa mencapai tataran optimal. Artinya, bisa jadi
tidak bisa diimplementasikan (unimplementable).
Akibatnya, apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan sulit dicapai sehingga
masalah publik yang mengemuka dimasyarakat juga tidak bisa dipecahkan. Bukankah
kebijakan publik itu dibuat hakikatnya untuk memecahkan masalah publik yang
mengemuka dimasyarakat. Oleh karena itu, pada tahap ini perlu dilakukan
analisis secara komprehensif agar diperoleh kebijakan publik yang betul-betul
bisa diimplementasikan, dapat mencapai apa yang menjadi tujuan dan sasarannya,
dan mampu memecahkan masalah publik yang mengemuka di masyarakat.
Tentunya agar kebijakan yang dihasilkan
benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, salah satu alternatif yang
dilakukan adalah kemauan pemerintah untuk membangun jaringan dengan aktor
diluar pemerintah, yaitu aktor privat
dan aktor civil society. Pemerintah
sudah tidak tepat lagi memandang aktor-aktor tidak resmi sebagai ”lawan
politik” tapi sudah saat pemerintah menjadikan aktor-aktor itu sebagai
”sahabat” dalam membicarakan produk-produk kebijakan publik di daerah. .
Karena tidak dapat
dipungkiri bahwa sebagian kebijakan publik yang dikeluarkan pasti memiliki
nilai “politis”. Untuk menghindari kebijakan yang bersifat “politis” tentu
dimulai dari proses formulasi kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang politis ini
lahir karena kebijakan yang dirumuskan hanya melibatkan kelompok-kelompok
tertentu saja. Dalam pandangan teori elit, kelompok-kelompok tertentu itu
adalah dari elit yang memerintah.
Menurut pandangan teori
elite, kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-nilai dan pilihan-pilihan
dari elite yang memerintah. Argumentasi pokok dari teori elite ini adalah bahwa
bukan rakyat yang menentukan kebijakan publik, tetapi berasal dari elite yang
memerintah dan dilaksanakan oleh pejabat-pejabat dan badan-badan pemerintah.
Olehnya, padangan teori elit
dalam formulasi kebijakan, tentu tidak dapat memecahkan masalah publik justru
hanya akan melahirkan masalah baru karena tidak diberikannya ruang bagi publik
untuk ikut berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan. Padahal kerangka baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good
governance) perlu sinergitas antara pemerintah, privat dan civil society.
Oleh karena itu, dalam
kerangka good governance, tindakan
bersama (colletive action) adalah
sebuah keharusan. Dalam kerangka ini, keinginan pemerintah untuk memonopoli
proses kebijakan dan memaksakan kebijakan tersebut harus ditinggalkan dan diarahkan kepada
proses kebijakan yang inklusif, demokratis dan partisipatis. Masing-masing
aktor kebijakan harus berinteraksi dan saling memberikan pengaruh (mutually inclusive) dalam rangka
merumuskan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
PENUTUP
1. Tahap
formulasi kebijakan merupakan tahap fundamental dalam proses kebijakan publik.
Oleh karena itu dalam tahap ini perlu pengkajian secara komprehensif dengan
membangun jejang aktor dalam formulasi kebijakan yaitu, aktor publik, privat dan civil society. Jejaring
aktor dalam formulasi kebijakan ini dimaksudkan untuk menghidari monopoli
pemerintah dalam proses kebijakan. Sehingga kebijakan yang dilahirkan tidak
bersifat politis tapi diharapkan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan publik.
2. Paradigma
good governance, administrasi publik menuntut pembangunan jejaring dalam proses
kebijakan publik. Jejaring dalam kebijakan publik bukan sekedar meliputi
partisipasi dan kerjasama, akan tetapi menampung keberadaan konflik, opini
elit, pembentukan kelompok atau subsistem kebijakan yang baru.
1 komentar:
The Martingale Wedding Band in the Wynn Resorts
› wynn-resorts › encore-las › wynn-resorts › encore-las Mar 16, 2021 pure titanium earrings — Mar 16, 2021 At titanium wallet The Wynn titanium earrings hoops Resorts, titanium ore you will feel at home at a Las Vegas wedding. If you like a titanium exhaust tubing ceremony, we will have a special time. This Wedding Ceremony
Posting Komentar